Desa Panjalu adalah salah satu destinasi pariwisata
yang ada di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Potensi wisata yang dimiliki diantaranya wisata alam berupa
danau bernama Situ Lengkong Panjalu dan wisata
budaya seperti
pelaksanaan upacara adat Nyangku dan keberadaan Museum Bumi
Alit. Dua potensi inilah
yang memberikan nilai lebih diban-dingkan dengan
desa-desa lain yang ada
di Kecamatan Panjalu.
Situ Lengkong Panjalu memiliki area seluas 57,95 hektare yang di tengahnya
terdapat satu nusa dengan luas 9,25 hektare. Nusa ini bernama Nusa Gede atau
Nusa Larang. Yang paling menarik, dari Nusa ini dipercaya terdapat makam
Hariang Kencana, putra dari Borosngora (raja yang menyebarkan Islam untuk
pertama kalinya di daerah Panjalu).
Berbagai jenis flora dan fauna hidup di area nusa sehingga dijadikan kawasan konservasi alam. Pemerintah Desa Panjalu dan masyarakat berkomitmen
untuk menjaga keberadaan kawasan ini agar tidak dirusak oleh para pengunjung yang datang.
Pada tanggal 7 Maret 2004, Gubernur Jawa Barat meresmikan kawasan
Panjalu sebagai tujuan wisata ziarah tingkat nasional. Tentunya, adanya
deklarasi ini bisa memberikan keuntungan tersendiri untuk perkemba-ngan
pariwisata setempat.
Upacara adat Nyangku
Untuk menghormati leluhur Panjalu, masyarakat Panjalu merayakan
upacara adat tradisional Nyangku yang diadakan setiap bulan Mulud (bulan kelahiran Nabi
Muhammad saw.). Nyangku mempunyai arti nyaangan laku (memberi arahan atau
penerangan pada prilaku). Kata nyangku juga berasal dari bahasa Arab, yanko
yang bermakna menyucikan.
Dalam arti sempit, upacara Nyangku dapat didefiniskan sebagai proses
membersihkan benda-benda pusaka dan bersejarah peninggalan leluhur Panjalu
seperti pedang, keris, cis dan lain-lain yang disimpan di Museum Bumi Alit.
Sementara dalam arti yang luas upacara Nyangku dapat dimaknai sebagai upaya
membersihkan hati dan diri manusia. Sebanyak sembilan sumber mata air yang
tersebar di Panjalu digunakan untuk membersihkan benda-benda tersebut.
Perayaan Nyangku dari tahun ke tahun disambut antusias bukan hanya oleh
masyarakat Panjalu saja, melainkan masyarakat di luar Panjalu. Upacara adat
ini sarat dengan nilai budaya ditandai dengan iringan musik tradisional
gemyungan dan lagu-lagu Sunda yang tetap dipertahankan.
Museum Bumi Alit
Museum Bumi Alit adalah museum berukuran kecil yang di dalamnya
terdapat tempat penyimpanan barang-barang pusaka hasil peninggalan leluhur Panjalu.
Museum ini dikelilingi oleh pagar berupa tanaman weregu.
Suasana hening, dingin, dan sejuk bisa dirasakan selama berkunjung ke tempat ini.
Museum Bumi alit dulu hanya berupa bangunan kecil yang
dibangun dari bambu, kayu, dan atap ijuk. Pemugaran tahun 1955 menjadikan bangunan
Museum Bumi Alit sedikit tampak berbeda, kelihatan lebih modern. Di depan pintu masuk
utama museum, terdapat sepasang patung ular yang memiliki mahkota.
Berkelanjutan
Prinsip ideal perkembangan pariwisata adalah harus menciptakan
pariwisata yang sustainable (berkelanjutan) dari segala aspek. Swarbrooke (1999),
mengungkapkan bahwa pola keberlanjutan ini mengandung makna adanya
keseimbangan antara pembangunan fisik dan nonfisik. Selain itu, bagaimana
menciptakan pariwisata dengan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan
meminimalisasi dampak negatif. Dampak negatif ini misalnya dapat terlihat
dari kerusakan lingku-ngan bahkan kerusakan mentalitas masyarakat atas
perkembangan yang tidak bisa terkontrol dengan baik.
Memperhatikan kenyataan atas perkembangan pariwisata di Desa Panjalu
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Hasil wawancara dengan Kasepuhan
Panjalu R.H. Atong Cakradinata dan Drs. Nasuha Risagarniwa (Oktober 2009)
menunjukkan adanya satu kekhawatiran yang berarti atas perkembangan
pariwisata di Desa Panjalu.
Dari sisi pembangunan fisik, Desa Panjalu mengalami pertumbuhan yang sangat baik.
Hal tersebut dapat dilihat dari pembangunan jalan, pemba-ngunan
gerbang utama menuju Situ Lengkong dan Museum Bumi Alit, perbaikan fasilitas
pendukung kegiatan pariwisata seperti toilet, tempat penjualan suvenir, dan
lain-lain. Dalam rencana pembangunan Desa Panjalu tahun 2009-2010 saja
Pemerintah Desa Panjalu menargetkan pemba-ngunan alun-alun Desa Panjalu
untuk dijadikan mascot building yang akan lebih terlihat elegan. Namun pada
ke-nyataannya, pembangunan tersebut mengundang kontroversi dari berbagai LSM
setempat karena dianggap merusak identitas Panjalu.
Nasuha lebih jauh mencermati bahwa pembangunan nonfisik di Desa Panjalu
kurang diperhatikan. Sejalan dengan pemikiran Atong, Panjalu seharusnya
dijadikan destinasi wisata yang berkonsep agamis dan Islami. Dengan
demikian, pemupukan mental masyarakat perlu ditegakkan dari generasi ke
generasi, misalnya dapat diseimbangkan dengan pembangunan pesantren dan
diisi dengan kegiatan-kegiatan yang lebih religius.
Secara ekonomi, perkembangan pariwisata di Desa Panjalu telah
memberikan dampak positif untuk masyarakat setempat. Namun, aspek ekonomi bukanlah
satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan Desa Panjalu sebagai
destinasi wisata ziarah. Sebagian masyarakat terlibat dalam kegiatan
pariwisata, misalnya menjadi penjual cendera mata, pengelola perahu dan
penjual makanan dan minuman. Manfaat ekonomi ini telah dirasakan langsung
maupun tidak langsung oleh masyarakat.
Hasil observasi lapangan lain menunjukkan, dari sepuluh dusun yang ada di
Desa Panjalu sebagian masyarakat belum merasakan adanya pemerataan atas
pengelolaan sumber wisata yang ada. Warga dusun tertentu merasa diperlakukan
tidak adil de-ngan pola pengelolaan yang terkesan didominasi oleh sebagian
warga dusun. Namun, pemerintah desa setempat memberikan penjelasan bahwa
pengelolaan telah diatur sedemikian rupa agar masyarakat tetap merasa
memiliki keberadaan pariwisata di Desa Panjalu.
Situasi ini beberapa kali menimbulkan konflik internal di tengah masyarakat
yang secara langsung telah mengganggu keharmonisan kehidupan bermasyarakat.
Untunglah pemerintah desa menjadi mediator di antara mereka yang sedang
menghadapi konflik sosial ini.
Kejadian ini seharusnya menjadi renungan untuk seluruh masyarakat bahwa
peninggalan leluhur Panjalu harus dimanfaatkan dengan baik dan dapat
dirasakan keberadaannya untuk keturunannnya, tidak untuk saling
diperebutkan, bahkan untuk dijadikan projek kepentingan pribadi. Konsep
keberlanjutan inilah yang harus diperhatikan yakni dengan memperhatikan
nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari semua segi, ekonomi,
sosial, maupun budaya.
Masyarakat setempat hendaknya menjadi titik sentral perhatian dalam
proses perkembangan pariwisata sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif.
Selain itu diharapkan keberadaan masyarakat akan memberikan
mutualism impact (dampak yang saling menguntungkan) dengan para pengunjung
sebagai penikmat wisata ziarah di Desa Panjalu.
Seiring dengan perkemba-ngannya, sebagian masyarakat melihat
wisata ziarah di Desa Panjalu dengan pemahaman yang tidak utuh. Bahkan adanya
pencampuradukan antara nilai budaya dan agama. Padahal keduanya sangatlah
berbeda dan harus dipisahkan. Kalau tidak, akan menyebabkan degradasi
pemahaman budaya yang berdampak pada pola kehidupan masyarakat itu sendiri.
Masyarakat di sini dapat diartikan sebagai masyarakat setempat atau
masyarakat pengunjung dari luar Panjalu.
Peninggalan leluhur Panjalu untuk keturunannya tentunya untuk
memberikan arahan dan petunjuk tentang bagaimana menjalankan hidup yang
benar secara agama, bukan mempropaganda nilai budaya menjadi agama atau sebaliknya.
Hal ini harus dijadikan sebagai suatu amanah yang harus dijalankan bagi anak,
cucu, dan semua keturunan. Falsafah PANJALU (Papagon, Agama, Nagara,
Jadikeun, Amalan, Lahir batin, Ulah salah) yang berarti bahwa ajaran atau
nasihat agama dan negara harus dijadikan amalan baik lahir maupun batin dan
dilaksanakan dengan benar, seharusnya dijadikan pegangan untuk semua
keturunannya.
Namun pada kenyataannnya, amanah itu hanya diartikan secara harfiah oleh
sebagian masyarakat. Misalnya peninggalan sejarah dianggap sebagai benda
yang sangat keramat dan dipuja-puja secara berlebihan, sehingga terkesan
meninggalkan esensi nilai ketuhanan yang seharusnya lebih diagungkan.
Sementara itu, dalam beberapa tahun lalu pelaksanaan upacara adat Nyangku,
sebagian pengunjung mendambakan air bekas membersihkan pusaka untuk diminum.
Mereka menganggap air yang diminum akan membawa keberkahan.
Sikap ini menunjukkan adanya pemahamam yang keliru, air yang bisa saja
me-ngandung karat dari barang-barang yang dibersihkan jika diminum tentu
tidak sehat. Pemahaman ini tentunya tidak sesuai dengan esensi nilai-nilai
keislaman yang sesungguhnya, yang harus mengutamakan nilai kebersihan. Yang
terlebih ekstrem lagi adanya kepercayaan jika kegiatan berziarah sambil
tidur atau menginap dan berdoa di depan makam leluhur, semua keinginan akan
terkabul. Padahal kita harus ingat yang mengatur segala sendi kehidupan ini
tiada lain adalah Allah SWT, sebagai yang Maha Pencipta, bukan karena
pemujaan terhadap kuburan leluhur. Penyampaian pemahaman ini tentunya harus
disampaikan kepada masyarakat khususnya kepada mereka yang masih memiliki
cara pandang yang keliru.
Konsep wisata ziarah hendaknya tidak dijadikan simbol-simbol yang penuh
dengan kemistisan, tapi dibutuhkan pemahaman yang lebih utuh bahwa
peninggalan sejarah adalah bagian dari budaya, dan nilai falsafahnya dapat
dijadikan arahan untuk menjalankan kehidupan di jalan yang benar. Dengan
demikian hal tersebut tidak menimbulkan pemahaman yang masih rancu di
kalangan masyarakat yang akan menimbulkan kesalahpahaman berikutnya untuk
generasi yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar